Hampir setahun sudah Google merilis Fuchsia OS. Fuchsia OS merupakan sistem operasi open source besutan Google yang menggunakan micro kernel ‘Zircon’. Hal ini berbeda dengan OS yang dilahirkan Google sebelumnya yaitu Android dan Chrome OS yang menggunakan kernel Linux.
Jika dilihat dari user interface-nya yang berupa card atau widget, Fuchsia OS merupakan universal device OS. Ini berarti Fuchsia dapat dipasang di smartphones, tablet, ataupun komputer. Dan jika dilihat secara arsitektural, Fuchsia akan mendukung sepenuhnya bahasa-bahasa pemrograman dari ekosistem Google seperti Go, Dart, Rust, Kotlin, dan menggunakan Flutter sebagai framework-nya. Tetapi Google juga tidak menutup diri terhadap bahasa pemrograman di ekosistem Apple yaitu Swift.
Keputusan Google mengembangkan OS baru ini bukan didasari pada keisengan mereka saja. Banyak developer yang sudah memprediksi bahwa cepat atau lambat, Google akan menciptakan OS baru karena beberapa faktor berikut.
Satu OS untuk Semua
Baru-baru ini Google mengizinkan aplikasi Android untuk diinstall di Chrome OS. Walaupun begitu, fitur ini masih belum berjalan sempurna. Masih banyak aplikasi yang belum mendukung untuk dipasang di Chrome OS. Permasalahan ini dapat terpecahkan jika seandainya mempunyai satu OS yang dapat dijalankan diberbagai platform perangkat. Bahkan kabarnya, para developer Fuchsia ingin OS ini dapat menjalankan Home Speaker keluaran Google dalam 3 tahun mendatang.
Selamat Tinggal Java
Sebagian kode pada Android mengandung kode Java di dalamnya. Bahkan pada saat awal pengembangan awal Android, Google menggunakan memasang JVM (Java Virtual Machine) di dalam Android. Maka tidak heran jika dulu aplikasi Android dapat dipasang di ponsel berbasis Java atau sebaliknya. Selain itu, Android Studio juga menggunakan Java sebagai bahasa resmi yang digunakan. Hal ini memicu kekhawatiran Google karena mereka tidak bisa benar-benar berkuasa atas sistem operasinya sendiri.
Kernel Yang Lebih Sering Diperbarui
Android dan Chrome OS menggunakan Linux sebagai kernelnya yang berarti sangat bergantung pada usaha OEM untuk membuat dan mengupdate patch. Padahal, kita tahu sendiri OEM sangat malas mengupdate patch apalagi menyentuh bagian yang terlalu dalam seperti kernel sehingga rentan terhadap eksploitasi pihak yang tak bertanggung jawab. Dengan kernel kustom yang dinamai Zircon, aplikasi dalam Fuchsia terisolasi dalam mengakses kernel secara langsung. Beberapa layer keamanan yang didesain untuk rutin diperbarui membuat Fuchsia jauh lebih aman.
Ramah Terhadap AI
Secara mendasar, Fuchsia didesain untuk mengakomodasi Google Assistant. Apapun yang nampak di layar atau apapun yang dilakukan pengguna pada perangkatnya bisa dilihat dan dimengerti oleh Assistant. Fitur ini sebenarnya sudah ada di Android Oreo di mana saat kita menekan dan menahan tombol home maka AI akan membaca informasi pada recent apps. Dengan Fuchsia, Assistant diberikan akses yang lebih dalam lagi. AI ini dapat mengakses segala entitas data seperti orang di kontak, history di browser yang kita pakai, event di kalender, atau konsep lain yang akan berusaha dipelajari oleh Assistant.
***
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan para pengamat teknologi informasi berpendapat bahwa Fuchsia akan menggantikan Android dan Chrome OS. Walaupun begitu Google sempat membantah pernyataan CNET bahwa Fuchsia OS akan menggantikan Android dan Chrome OS dalam jangka waktu lima tahun. Google hanya menyatakan bahwa Fuchsia merupakan salah satu dari sekian banyak project eksperimen yang dilakukan Google.
Update 2 Juli 2019 :
Google akhirnya merilis website untuk development Fuchsia OS yang berisi dokumentasi.