
Membangun Desain Sistem yang Tangguh: Scalable, Fleksibel, dan Siap Hadapi Perubahan
Di era digital yang dinamis, sistem informasi tidak hanya dituntut untuk bekerja dengan baik, tetapi juga harus bisa bertumbuh dan beradaptasi. Dua prinsip utama yang kini menjadi perhatian dalam pengembangan sistem adalah scalability atau kemampuan untuk menangani peningkatan beban dan flexibility atau kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan.
Gagal dalam merancang sistem yang scalable dan fleksibel dapat berdampak fatal. Berdasarkan laporan McKinsey & Company, sekitar 70% proyek transformasi digital di perusahaan global mengalami kegagalan, salah satu alasannya adalah infrastruktur IT yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan bisnis.
Salah satu contoh nyata adalah kasus kegagalan sistem pelayanan kesehatan digital Inggris, NHS National Programme for IT, yang menghabiskan lebih dari £10 miliar namun akhirnya dibatalkan karena sistem yang tidak cukup fleksibel untuk mengikuti perubahan kebutuhan klinis dan teknologi.
Lantas, bagaimana cara yang efektif untuk membangun desain sistem yang mampu menghadapi tantangan tersebut? Simak penjelasan berikut ini.
Pentingnya Skalabilitas dan Fleksibilitas dalam Desain Sistem
Skalabilitas berkaitan dengan kemampuan sistem untuk tetap stabil dan optimal saat terjadi peningkatan traffic atau volume data. Misalnya, saat gelaran 11.11 pada 2022, Shopee mencatat lebih dari 12 juta transaksi hanya dalam satu jam pertama. Tanpa sistem yang scalable, kondisi seperti ini dapat menyebabkan bottleneck hingga downtime.
Di sisi lain, fleksibilitas sangat penting ketika sistem harus segera menyesuaikan diri dengan perubahan regulasi, integrasi fitur baru, atau migrasi teknologi. Tanpa fleksibilitas, proses penyesuaian ini akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Prinsip-Prinsip Desain Sistem yang Efektif
1. Arsitektur Modular (Microservices)
Salah satu pendekatan paling efektif adalah dengan menggunakan arsitektur microservices, di mana sistem dipecah menjadi beberapa layanan independen yang saling terhubung.
Berdasarkan IBM Cloud Education, perusahaan yang mengadopsi microservices mampu mempercepat time-to-market aplikasi hingga 60% lebih cepat dibandingkan sistem monolitik karena pengembangan dan deployment dapat dilakukan secara terpisah.
2. Infrastruktur Cloud-Native
Infrastruktur cloud-native memungkinkan sistem untuk berjalan secara elastis dan otomatis menyesuaikan beban kerja. Berdasarkan data dari AWS Cloud Economics Center , penggunaan arsitektur cloud-native dapat mengurangi downtime hingga 94% dan memangkas biaya operasional hingga 30-50%.
Layanan seperti AWS Lambda, Google Cloud Run, dan Azure Functions menyediakan fitur auto-scaling dan serverless computing yang mendukung pertumbuhan sistem tanpa hambatan. Sebagai contoh nyata, perusahaan seperti Airbnb dan Spotify telah memigrasikan sebagian besar infrastruktur mereka ke cloud-native architecture untuk meningkatkan skalabilitas dan efisiensi operasional
3. Event-Driven Architecture
Desain sistem berbasis event memungkinkan sistem untuk memproses data secara asynchronous. Hal ini sangat berguna untuk menangani beban tinggi secara efisien.
Dilansir dari Netflix Technology Blog, arsitektur ini digunakan oleh Netflix untuk mendukung layanan streaming mereka yang harus melayani lebih dari 260 juta pengguna global secara real-time, dengan uptime yang sangat tinggi.
4. API-First dan Standarisasi Integrasi
Mengembangkan sistem dengan pendekatan API-first mempermudah integrasi dengan layanan internal maupun eksternal. Berdasarkan laporan Postman: State of the API Report, sebanyak 89% organisasi global menyatakan bahwa API adalah komponen strategis dalam transformasi digital mereka.
Dengan menggunakan protokol standar seperti REST, GraphQL, dan sistem keamanan berbasis OAuth 2.0 atau JWT, sistem dapat dengan mudah dihubungkan ke berbagai platform lain tanpa risiko keamanan yang tinggi.
5. Monitoring, Load Testing, dan Observabilitas
Sistem yang scalable tidak hanya dirancang untuk tumbuh, tapi juga harus dapat dipantau dan diuji secara berkala. Tools seperti Apache JMeter, k6.io, dan Gatling digunakan untuk mengukur beban dan ketahanan sistem sebelum diluncurkan ke publik.
Dilansir dari laporan Cloud Native Computing Foundation (CNCF) 2023, tools seperti Prometheus, Grafana, dan Datadog semakin banyak digunakan untuk observabilitas sistem secara real-time, memungkinkan deteksi masalah dalam hitungan detik.
Kesimpulan
Merancang sistem yang scalable dan fleksibel bukan lagi sekadar pilihan, tapi kebutuhan mendesak dalam dunia bisnis digital saat ini. Dengan pendekatan arsitektur modern seperti microservices, pemanfaatan cloud-native, dan standar API yang kuat, organisasi dapat membangun sistem yang siap tumbuh dan tangguh menghadapi perubahan.
Executive Class – Modern Information System Analysis & Design
-
52
days
-
1
hour
-
12
minutes
-
53
seconds