Istilah scrum mulai mencuat sejak tren digital meningkat tajam. Banyaknya tech start up yang lahir menuntut pengembangan produk piranti lunak dilakukan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan dengan tim yang seramping-rampingnya. Walaupun begitu, masih belum banyak yang belum mengetahui apa arti sebenarnya dari scrum yang sering digembar-gemborkan oleh pelaku tech start up ini.
Berawal Dari Agile
Scrum merupakan sebuah framework project management yang bermula dari metode agile. Bagaikan pasangan yang baru 12 jam pacaran, hubungan agile dan scrum tak terpisahkan. Atau jika ingin mencari perumpamaan yang lebih akurat lagi, agile bisa diumpamakan sebagai bahasa pemrograman php dan scrum adalah Laravel. Scrum sendiri merupakan framework yang paling populer dalam agile (baca artikel “Agile: Project Management yang Fokus ke Pengguna“) jauh mengungguli kanban dan iterative development.
Metode agile mengharuskan sebuah pekerjaan dalam suatu project dibagi hingga bagian yang lebih kecil lagi dan sering disebut sprints oleh para pengguna scrum. Metode ini memungkinan sebuah pengembangan produk piranti lunak berjalan tanpa adanya project manager. Karena bagian pekerjaan dipecah menjadi beberapa bagian kecil, setiap bagian dari tim sudah mengetahui apa dan kapan sprints masing-masing harus dikerjakan. Bahkan dengan metode agile, sebuah tim dapat mengetahui workflow dari tim lain sehingga memudahkan setiap bagian dari organisasi untuk berkolaborasi.
Sejarah Scrum
Scrum diperkenalkan pertama kali pada tahun 1986 oleh Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka dalam sebuah artikel di The Harvard Business Review yang berjudul “The New Product Development Game.” Mereka menggunakan metafora untuk menggambarkan dua pendekatan yang berbeda. Sebagian tim seperti pelari estafet yang berlari secara bergantian dengan mengoper tongkat estafet dan berada dalam satu jalur. Tim yang lain bagaikan tim rugby yang bermain secara bersamaan, saling mengoper satu sama lain jika dibutuhkan, dan disatukan oleh kesamaan objective untuk mencetak skor sebanyak mungkin.
Takeuchi dan Nonaka beranggapan bahwa tim ‘pelari estafet’ tersebut ketinggalan jaman dan percaya bahwa cara ‘tim rugby’ akan memberikan perusahaan sebuah kekuatan untuk bersaing di dunia bisnis multinasional.
Lalu beberapa tahun setelahnya, John Sutherland, John Scumniotales, dan Jeff McKenna mengatakan bahwa mereka telah mencoba scrum di Easel Corp pada tahun 1993. Pada tahun 1995, Ken Schwaber dan Sutherland berkolaborasi dengan beberapa orang (ternasuk McKenna dan Scumniotales) mempresentasikan sebuah paper di OOPSLA yang berjudul “SCRUM Development Process.” Hasilnya? Scrum membuat para developer mempertanyakan efektivitas dari metode klasik ‘waterfall.’
Prinsip dan Komponen Scrum
Ada beberapa nilai di dalam scrum yang menjadikan framework ini paling populer di antara metode agile. Beberapa nilai tersebut adalah :
- Commitment
Sebuah tim dalam scrum mengarahkan dan mengawasi dirinya sendiri. Setiap anggota tim berarti telah mengerti dengan tanggung jawabnya dan mendedikasikan dirinya untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang telah disepakati bersama. - Courage
Sebuah tim merupakan satu entitas di mana gagal atau berhasilnya sebuah ide beserta eksekusinya ditanggung bersama. - Focus
Prinsip scrum yang paling terasa adalah fokus. Metode scrum membatasi distraksi sehingga setiap anggota tim akan lebih berkonsentrasi pada pekerjaan yang harus diselesaikan pada hari itu. - Openness
Sebuah tim diberikan kesempatan untuk berkumpul dan berbagi agar setiap anggotanya dapat menyampaikan ide, permasalahan, atau pun pandangannya tentang sebuah pekerjaan. - Respect
Setiap tim terdiri dari anggota yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap kelebihan dan kekurangan tersebut harus dihormati agar tidak saling menyalahkan jika membahas suatu kendala atau kegagalan.
Selain prinsip tersebut, Scrum juga memiliki beberapa komponen yang membedakannya dari framework manajemen yang lain. Komponen itu adalah product owner, scrum master, dan scrum development team.
- Product Owner
Anggota tim ini berperan sebagai perantara antara customer atau klien dan tim development. Product owner bertanggung jawab untuk memastikan produk akhir sesuai dengan ekspektasi klien atau customer dan memastikan bahwa ekspektasi klien sesuai dengan kemampuan development team. - Scrum Master
Scrum master merupakan seorang fasilitator bagi seluruh anggota tim agar sistem scrum dapat berjalan semestinya. Kebanyakan peran scrum master ini disalahartikan sebagai ‘supervisor’ yang mengawasi setiap anggota tim. Padahal seperti yang telah disebutkan di atas, scrum mewajibkan anggota timnya untuk mengawasi dirinya sendiri. Peran scrum master hanyalah menjadwalkan seluruh ritual dari scrum dan menjadi moderator di dalamnya. - Scrum Development Team
Tim inilah yang bertanggung jawab membuat, menguji, dan mengembangkan suatu produk.
Sebuah Framework Dengan Ritual
Dalam prosesnya, scrum mengajak para praktisinya untuk secara terus-menerus mengevaluasi bagian mana dari pekerjaan kita yang berhasil dan mana yang tidak. Dalam scrum, komunikasi adalah bagian penting dari sebuah proses. Oleh karena itu, scrum memiliki beberapa ritual meeting yang disebut dengan event. Beberapa event itu adalah :
Daily Scrum
Daily scrum merupakan rapat berdiri yang sangat singkat yang dilakukan setiap hari. Pada setiap kali pertemuan, anggota tim membahas tentang pekerjaan yang telah selesai di hari sebelumnya dan merencanakan pekerjaan apa yang harus selesai dalam waktu 24 jam ke depan. Dalam kesempatan inilah, setiap anggota tim bisa mengungkapkan masalah yang mungkin akan timbul dalam pengerjaan suatu project.
Sprint Planning Meeting
Sprint sebenarnya merujuk pada pekerjaan mana yang harus diselesaikan dalam satuan waktu. Waktu untuk setiap sprint berbeda-beda. Di meeting inilah tim merencanakan dan mensinkronisasi semua sprint dalam jangka waktu seminggu ataupun sebulan tergantung dari jenis project.
Sprint Review
Di dalam meeting inilah semua pihak yang terlibat dalam sebuah project bertemu untuk meninjau sebuah sprint yang telah dikerjakan. ‘Product owner’ bisa bertindak sebagai stakeholder yang memberikan pandangan tentang hasil produk final dari sebuah sprint, tapi alangkah baiknya jika stakeholder sendiri ikut dalam sprint review ini.
Sprint Retrospective
Sprint retrospective diadakan saat seluruh sprint sudah selesai dikerjakan. Di dalam ritual ini, anggota tim development mengevaluasi seluruh proses sprint. Fokus dari ritual ini adalah ‘bagaimana pekerjaan yang lalu dikerjakan’ bukan ‘apa yang telah dikerjakan.’ Jadi goal dari ritual ini adalah lebih ke pengembangan diri dari setiap anggota tim bukan produk karena untuk evaluasi produk sudah dilakukan pada saat sprint review.
Artefak Agar Tidak Lupa Dengan Sejarah
Salah satu kelebihan scrum adalah dokumentasi dari sebuah proses yang disebut dengan ‘artefak.’ Artefak ini membuat scrum menjadi sebuah framework yang membuat proses perencanaan, komunikasi, dan evaluasi menjadi mudah. Inilah jenis-jenis artefak dalam scrum :
- Product Backlog
Yang dimaksud dengan product backlog adalah bagian dari produk baik itu fungsi atau fitur dari suatu produk yang harus diselesaikan. Product backlog ini biasanya disusun oleh product owner bersama klien. - Sprint Backlog
Sprint backlog adalah turunan dari product backlog yang disusun dalam sprint planning meeting. Sprint backlog ditujukan agar setiap tim dapat mengetahui bagian mana saja yang harus dia kerjakan dalam suatu product backlog. - Product Increment
Product increment terdiri dari product backlog yang sudah selesai dikerjakan. Product increment ini mencerminkan sampai sejauh mana progres dari pengerjaan suatu product. - Burn Down
Burn down adalah visualisasi data yang berisikan informasi pekerjaan yang belum terselesaikan dan waktu yang tersisa. Burn down menampilkan chart yang membandingkan linimasa pengerjaan ideal dengan linimasa pengerjaan aktual dari sebuah sprint.
Itulah tadi penjelasan singkat mengenai scrum. Jika kita dapat melihat gambaran besarnya, kita akan mengetahui alasan mengapa tech startup kekinian memfavoritkan scrum sebagai framework kerja dalam pengembangan sebuah produk. Tentu saja framework ini bukan tanpa kelemahan. Banyak kendala untuk mentransformasikan sistem manajemen klasik ‘waterfall’ seperti SDM yang masih awam sampai kendala tim yang terlalu besar sehingga scrum tidak berjalan efektif. Solusi yang paling masuk akal untuk menerapkan pada bisnis yang sudah lama berdiri adalah dengan mengadaptasikan scrum secara pelan-pelan ke dalam konsep waterfall yang sudah mengakar dari lama.