https://www.rapa-puru.com/ https://ingemantspa.cl/ https://103.63.25.105/
– Inixindo Jogja
Seminar & Diskusi – Digital Leadership : Menyusun Strategi Menghadapi Era Transformasi Digital

Seminar & Diskusi – Digital Leadership : Menyusun Strategi Menghadapi Era Transformasi Digital

Seminar & Diskusi – Digital Leadership : Menyusun Strategi Menghadapi Era Transformasi Digital

Disrupsi digital adalah sebuah tuntutan bagi sebuah organisasi atau perusahaan agar dapat bertahan di era digital yang sedang berlangsung saat ini. Start up baru berbasis teknologi bermunculan mengancam keberadaan bisnis yang sudah ada. Di bawah seorang pemimpin yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan digital (digital leadership),  bisnis atau organisasi yang dipimpinnya akan susah payah beradaptasi. Perubahan yang dilakukan pun terkesan latah karena sekedar ikut-ikutan membuat apps yang belum tentu terpakai.

Digital leadership adalah bekal bagi seorang pemimpin dan calon pemimpin agar bisa mengarahkan organisasi atau bisnis yang mereka pimpin untuk bertransformasi ke arah digital. Sebuah transformasi yang dapat disebut sebagai inovasi dan bukan sekedar ‘paksaan situasi’. Digital leadership juga dibutuhkan bagi mereka yang ingin mengembangkan bisnis di era revolusi industri 4.0 ini

Jika Anda ingin mengenal lebih dalam lagi tentang digital leadership dan bagaimana menyusun strategi dalam menghadapi digital transformasi, Anda bisa mengikuti seminar dan diskusi “Digital Leadership: Menyusun Strategi Menghadapi Era Transformasi Digital”. Ada 2 topik yang akan dibahas dalam seminar dan diskusi ini, yaitu:

  • Transformasi Digital
  • Business Model Canvas

Ikuti seminar dan diskusi “Digital Leadership: Menyusun Strategi Menghadapi Era Transformasi Digital” dengan mendaftarkan diri Anda terlebih dahulu!

This form does not exist

Biaya

Free (tempat terbatas)

DATE AND TIME

Kamis, 17 Januari 2019
14.00 WIB – Selesai

LOCATION

Eduparx – Inixindo Jogja
Jalan Kenari No 69 Yogyakarta
View Maps

Bertahan di Era Digital: Digital Leadership

Bertahan di Era Digital: Digital Leadership

Dalam artikel yang ditulis beberapa hari yang lalu, kita telah membahas tentang apa yang menyebabkan terjadinya transformasi digital (digital transformation) yang bisa juga disebut sebagai revolusi industri 4.0. Dalam artikel tersebut juga disebutkan bagaimana digital skill mutlak dibutuhkan bagi setiap perangkat organisasi/perusahaan jika organisasi/perusahaan tersebut ingin bertahan hidup di era digital ini.

Kali ini kita akan membahas tentang digital leadership sebagai komponen digital skill terpenting sebagai penunjang transformasi digital. Kenapa digital leadership menjadi komponen terpenting? Jawabannya tentu saja karena setiap keputusan dalam sebuah organisasi/perusahaan datang dari pemimpinnya. Bagaimana organisasi/perusahaan mau melakukan transformasi digital jika pemimpinnya saja masih belum melek digital. Jika diibaratkan proses transformasi digital adalah sebuah proses memasak, digital leadership dapat diibaratkan sebagai kompornya.

Meskipun begitu, di era disrupsi digital ini konsep pemimpin sebagai seorang jenderal yang duduk di belakang meja tidak lagi relevan. Perusahaan pioner transformasi digital seperti Google dan Lyft justru mencari pemimpin yang bisa dan mau turun tangan langsung, saling melengkapi dan berfungsi sebagai sebuah tim. Selain kemampuan untuk memimpin sebuah tim, para pemimpin ini dituntut untuk bisa membangun tim dari awal, menjadi perantara antar anggota tim, serta menuntun tim untuk memiliki budaya inovatif, mau belajar, dan terus melakukan peningkatan secara terus menerus. Memang terdengar agak klise dan hampir sama dengan pemimpin ideal di era sebelum transformasi digital terjadi tapi kita akan tahu apa saja perbedaannya di dalam artikel ini.

Pemimpin Digital Adalah Pemimpin Yang Memiliki Latar Belakang  IT?

Walaupun para pemimpin perusahaan pioner transformasi digital seperti Mark Zuckerberg, Larry Page, dan Travis Kalanick memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi ataupun ilmu komputer tak sedikit pula dari para pioner transformasi digital yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan TI ataupun komputer. Salah satu contohnya adalah Jeff Bezos yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang bisnis.

Yang dimaksud dengan digital leader di sini bukanlah seseorang yang ahli dalam pemrograman komputer atau seorang engineer. Digital leader adalah seseorang yang mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk mencapai tujuan suatu organisasi atau bisnis. Beberapa tahun yang lalu kita pernah mendengar nama posisi CIO (Chief Information Officer) yang selalu dipasrahi tanggung jawab segala sesuatu yang berhubungan dengan IT. CIO inilah merupakan satu-satunya digital leader saat sebelum transformasi digital terjadi walaupun saat itu CIO lebih sering berurusan dengan hal-hal teknis seperti server, desktop, dan kabel LAN. Bahkan tidak jarang para staff di perusahaan yang menyebut CIO sebagai “box and wire jockey” semacam DJ yang memainkan router dan kabel alih-alih turntable.

Di era transformasi digital ini semua pemimpin dan staff dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menjadi seorang digital leader yang mana mereka memiliki satu goal yang sama yaitu membawa organisasi atau bisnis yang dia pimpin untuk melakukan transformasi digital yang tidak hanya merupakan peralihan teknologi saja tapi juga aspek lain seperti transformasi kognitif, perilaku, dan emosi. Untuk itu, digital leader harus bisa berpikir, mengambil tindakan, dan bereaksi secara berbeda

Cognitive
Transformation
(Berpikir secara berbeda)
Behavioral
Transformation
(Bertindak secara berbeda)
Emotional
Transformation
(Bereaksi secara berbeda)
Membuat konsep tentang segala kemungkinan di dunia digital Beradaptasi dengan penguasa dan orang yang berpengaruh yang silih berganti Bertoleransi terhadap lingkungan yang penuh resiko dan ketidakjelasan
Menemukan cara untuk menangani kompleksnya pemikiran yang semakin meningkat Berkolaborasi dengan tim yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula Tenang dan siap dalam menghadapi perubahan yang selalu terjadi
Mengambil keputusan secara cepat walaupun jika kita tidak mempunyai informasi Memberikan banyak energi untuk sebuah keberhasilan (coba – gagal – coba lagi) Memiliki kepercayaan diri untuk memimpin dan mendorong adanya perubahan

Pemimpin Saja Atau Pemimpin Digital?

Sampai di sini, kita telah banyak membahas tentang apa itu pemimpin digital. Dari pembahasan tersebut mungkin banyak yang bertanya “Loh, itu kan memang kriteria ideal pemimpin pada umumnya? Kenapa harus disebut sebagai pemimpin digital?”

Yang membedakan sebutan antara pemimpin biasa dan pemimpin digital selain masalah visi tentang teknologi adalah ‘aturan main’ dari kepemimpinan itu sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

‘Just’ Leader Digital Leader
Pemimpin dipilih dan diidentifikasi berdasarkan pengalaman, senioritas, dan performa kerja. Pemimpin dipilih dan diidentifikasi berdasarkan agility, kreativitas, dan kemampuan untuk menjembatani beberapa tim yang ada dalam organisasi.
Pemimpin harus memulai dari bawah dan perlahan-lahan menuju ke atas seperti menaiki tangga. Bisa menjadi pemimpin sejak dini dan mengembangkan jiwa kepemimpinan mereka sambil jalan.
Pemimpin diharapkan tahu apa yang akan dia lakukan dan membawa penilaian serta pengalamannya dalam menghadapi tantangan bisnis. Pemimpin diharapkan berinovasi, kolaborasi, dan menggunakan metode ‘client teams’, crowdsourcing, ataupun hackathon untuk menemukan solusi yang benar-benar baru.
Pemimpin dinilai dan dibentuk dari perilaku dan gaya kepemimpinan. Pemimpin dinilai dan dibentuk oleh pola pikir, dan kemampuan dalam memecahkan masalah.
Pemimpin memimpin organisasi dan fungsi. Pemimpin memimpin sebuah tim, proyek, dan hubungan antar tim


Kesimpulan yang dapat diambil dari perbedaan antara pemimpin biasa dan pemimpin digital adalah pemimpin digital merupakan pemimpin di masa depan yang diharapkan membawa keberhasilan bagi organisasinya di era yang dipenuhi ambiguitas.

Jika Anda tertarik dengan digital leadership Anda dapat mengambil kelas pelatihan digital leadership . Selain digital leadership Anda dapat mempelajari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang digital leader

Bertahan di Era Digital: Transformasi Digital Sebagai Penyebab Kepunahan

Bertahan di Era Digital: Transformasi Digital Sebagai Penyebab Kepunahan

Istilah digital transformation yang sering digembar-gemborkan oleh pelaku bisnis terutama dari tech start up kekinian beberapa tahun belakangan ini. Sejumlah tech start up tersebut pun sering disebut sebagai agen perubahan. Tidak hanya pelaku bisnis atau organisasi saja yang merasakan perubahan ini, tetapi juga masyarakat awam sebagai pengguna layanan.

Jika diterjemahkan secara harfiah digital transformation artinya adalah perubahan ke arah digital. Tentu saja dari terjemahan alakadarnya ini hanya bisa memberikan sedikit penjelasan. Karena penerapan digital transformation akan tampak berbeda dalam setiap bisnis, agak susah menentukan definisi yang pasti dari digital transformation. Secara umum digital transformation dapat diartikan sebagai integrasi teknologi digital ke semua area bisnis yang menyebabkan perubahan yang fundamental bagaimana suatu bisnis beroperasi dan bagaimana bisnis tersebut memberikan sebuah nilai bagi pengguna produk, konsumen, atau pun publik. Selain itu, digital transformation merupakan sebuah perubahan kultural yang menuntut suatu organisasi (baik itu swasta maupun pemerintah) untuk keluar dari status quo, sering bereksperimen , serta terbiasa dengan kegagalan. Proses perubahan ini terkadang memaksa organisasi untuk menyingkat proses bisnis yang panjang menjadi singkat dan secepat mungkin.

Perubahan yang datang ini tentu saja tak bisa dihindari. Alasan mengapa banyak organisasi maupun bisnis yang seakan-akan latah untuk ikut dalam arus transformasi digital ini adalah karena mereka harus bertahan hidup. Lihat saja bagaimana toko-toko fisik mulai sepi pengunjung karena pengaruh e-commerce. Tak hanya toko-toko kecil saja, perusahaan yang sudah tumbuh besar saja merasa terancam oleh kehadiran start up baru yang berjiwa digital. Tengok saja beberapa tahun lalu perusahaan taksi nasional sempat ‘berseteru’ dengan  jasa transportasi daring online.

Apa yang mendorong transformasi digital?

Ada dua hal saling terkait yang menyebabkan transformasi digital. Pertama, kemunculan internet yang menjadi populer pada akhir era ‘90-an sampai awal 2000-an. Hadirnya teknologi ini menyebabkan arus informasi bertambah deras. Arus informasi ini memiliki efek candu bagi manusia dimana jika kita sudah terbiasa terpapar oleh informasi, kita merasa ingin menambah ‘dosis’ informasi yang kita terima atau minimal tidak ingin ‘dosis’ informasi yang biasa kita terima berkurang. Walaupun begitu, faktor ini hanya sebagai awalan saja. Masih ada masalah-masalah yang menghambat transformasi digital yaitu infrastruktur dan perangkat. Seperti yang kita tahu saat itu koneksi internet hanya mengandalkan kabel tembaga saja dan tidak setiap rumah memiliki koneksi tersebut. Bukan hanya itu saja, internet juga hanya bisa dinikmati melalui perangkat PC maupun Laptop dan percayalah laptop saat itu masih terlalu berat untuk bisa dikatakan sebagai perangkat portabel sehingga kita masih menolak untuk membiarkan internet merenggut seluruh waktu yang kita punya dalam sehari. Mata siapa yang tak lelah memandangi layar monitor yang kebanyakan masih berjenis CRT selama 8 jam atau bahkan lebih.

Kedua, kemajuan teknologi komunikasi selular yang berhasil membawa koneksi internet tersebut ke dalam genggaman kita. Teknologi ini juga didukung oleh kemajuan teknologi chipset yang membuat telepon genggam yang sekarang disebut smartphone memiliki kemampuan komputasi yang lebih tinggi dalam memproses data dan menjalankan program layaknya sebuah komputer. Smartphone inilah yang berfungsi menjadi gerbang masuknya teknologi ke kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari, di manapun dan kapanpun. Celah ini kemudian dimanfaatkan sejumlah inovator dan mengembangkan bisnis baru yang mereka ciptakan dengan cara yang juga baru. Jika kita amati, hadirnya start up kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda. Seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak muda ini adalah golongan early adopter di mana mereka sangat menerima perubahan (disrupsi) bila dibandingkan dengan golongan tua yang lebih konservatif.

Seleksi Alam Digital

Revolusi industri 4.0 begitulah para pakar dan pengamat ekonomi menjuluki fenomena transformasi digital. Setiap pergantian era pasti ada yang lahir dan ada yang mati tergantikan apalagi jika kita sudah membawa-bawa teknologi sebagai pemicunya yang perkembangannya semakin cepat. Sudah banyak contoh kasus brand atau bisnis yang kita anggap sudah mapan tiba-tiba mati karena tergerus arus transformasi digital ini. Lihat saja Blockbuster perusahaan rental video yang sempat sukses di Amerika Serikat akhirnya tutup karena hadirnya Netflix.

Kodak, perusahaan alat fotografi juga mengalami kebangkrutan pada tahun 2012. Sebenarnya Kodak sudah berusaha melakukan beberapa inovasi digital. Kodak membuat Ofoto, situs untuk berbagi foto pada tahun 2001 di mana pada saat itu Instagram bahkan belum terpikirkan oleh pendirinya. Kodak juga menginvestasikan jutaan dollar untuk dalam pengembangan teknologi fotografi yang memungkinkan ponsel dan perangkat lain dapat mengambil foto. Akan tetapi, hal itu menjadi sia-sia karena Kodak bersikeras untuk tidak memproduksi kamera digital. Kodak terlalu sibuk untuk memaksa orang-orang yang saat itu baru mengenal fotografi digital untuk mencetak foto mereka.

Adaptasi atau Mati

Sebenarnya masih banyak lagi beberapa bisnis yang menghilang yang tidak kita sadari secara langsung. Bisnis-bisnis tersebut enggan untuk beradaptasi dengan perubahan era karena sudah terlalu nyaman dengan kejayaan yang mereka capai di masa lalu. Selain terlalu nyaman, ada juga beberapa bisnis yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi transformasi digital ini. Hanya terbengong-bengong melihat start up baru bermunculan dan merebut pelanggan mereka satu demi satu.

Ada beberapa bisnis yang sudah berhasil beradaptasi dan ada juga yang terus mencoba tapi masih gagal. Keberhasilan bisnis, organisasi, maupun perusahaan dalam bertransformasi tidaklah ditentukan dari satu orang saja. Transformasi digital memerlukan semua pihak dalam suatu organisasi untuk beradaptasi. Ada beberapa skill yang dapat membantu seseorang agar dapat beradaptasi di era digital seperti kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dalam mempermudah dan mempercepat pekerjaannya. Kemampuan ini disebut digital skill. Mudah ditebak bukan?

Digital skill terdiri banyak bagian, beberapa di antaranya adalah:

  • Digital Leadership
  • Communication and Collaboration
  • Find & Use
  • Teach & Learn

(Nantikan artikel selanjutnya dari Inixindo Jogja yang akan membahas skill tersebut satu per satu)

 

Skill-skill di atas sudah cukup untuk membuat kita ‘membaur’ dengan iklim digital sehingga kita mampu untuk beradaptasi. Menguasai bahasa pemrograman mungkin juga bisa dikategorikan sebagai digital skill tapi masih belum menjadi syarat utama untuk bertahan di revolusi industri 4.0. Meskipun begitu, tidak ada yang mampu memprediksi apa yang akan terjadi setelah era digital yang kemungkinan akan dibanjiri oleh AI (Artificial Intelligence). Bisa jadi kemampuan membuat model machine learning merupakan syarat wajib menjadi karyawan di setiap perusahaan.

Kunjungi halaman Pelatihan Digital Leadership, jika Anda tertarik untuk menguasai skill tersebut