Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga sektor industri. Namun, seiring dengan potensi besar yang ditawarkan, penggunaan AI juga menimbulkan berbagai risiko etis dan sosial. Untuk itu, UNESCO telah mengeluarkan Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence yang merangkum 10 prinsip dasar guna menjamin bahwa pengembangan dan penerapan AI berjalan secara etis dan bertanggung jawab.

Artikel ini membahas 10 prinsip UNESCO untuk tata kelola dan etika AI serta cara penerapannya guna memaksimalkan manfaat teknologi dan mengurangi risikonya.

1. Proporsionalitas dan Tidak Merugikan (Proportionality and Do No Harm)

Penggunaan sistem AI harus selalu proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai. Prinsip ini menekankan pentingnya melakukan penilaian risiko secara menyeluruh untuk memastikan bahwa AI tidak menimbulkan kerugian—baik terhadap individu, kelompok, maupun lingkungan. Contohnya LinkedIn menggunakan AI dalam sistem perekrutan untuk mencocokkan kandidat dengan lowongan pekerjaan. Namun, tanpa pengawasan ketat, algoritma ini bisa cenderung mengutamakan kandidat dari kelompok tertentu berdasarkan pola historis, yang dapat menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

2. Keamanan dan Keselamatan (Security and Safety)

AI harus dirancang agar aman dan terjamin keamanannya sepanjang siklus hidupnya. Langkah-langkah spesifik yang dapat diambil meliputi penerapan enkripsi data untuk mencegah akses tidak sah, pengujian keamanan berkala guna mendeteksi celah keamanan, serta pengembangan sistem AI yang dapat mendeteksi dan merespons ancaman secara otomatis.

Selain itu, perusahaan juga dapat menerapkan standar industri seperti ISO/IEC 27001 untuk memastikan keamanan informasi dalam seluruh proses pengembangan dan penerapan AI. Ini mencakup upaya perlindungan terhadap serangan siber serta penerapan protokol untuk menjaga privasi data. Contohnya, sistem pengenalan wajah yang digunakan di bandara untuk pemeriksaan keamanan harus menerapkan enkripsi tingkat tinggi agar data biometrik penumpang tidak dapat diakses oleh pihak yang tidak berwenang.

3. Keadilan dan Non-Diskriminasi (Fairness and Non-discrimination)

Sistem AI harus mendukung keadilan sosial dengan memastikan tidak terjadi bias atau diskriminasi. Pendekatan inklusif sangat diperlukan agar semua kelompok, terutama yang rentan, mendapatkan manfaat yang sama dari teknologi AI.

Contohnya, algoritma pinjaman harus dirancang untuk tidak mendiskriminasi berdasarkan ras atau gender. Misalnya, dalam sebuah studi di Amerika Serikat, ditemukan bahwa beberapa algoritma pinjaman cenderung memberikan suku bunga lebih tinggi kepada kelompok minoritas. Oleh karena itu, perusahaan keuangan harus melakukan audit berkala untuk memastikan bahwa sistem AI mereka adil bagi semua peminjam.

4. Transparansi dan Keterbukaan (Transparency and Explainability)

Sistem AI harus dapat dijelaskan dan dipahami oleh pengguna serta pemangku kepentingan. Pengguna harus mengetahui bagaimana AI bekerja dan bagaimana keputusan dibuat.

Cotohnya, platform e-commerce yang menggunakan AI untuk rekomendasi produk harus memastikan bahwa algoritmanya tidak hanya menampilkan produk dari merek besar, tetapi juga memberikan kesempatan yang adil bagi usaha kecil untuk bersaing. Misalnya, Amazon menggunakan AI dalam sistem pencarian dan rekomendasi produknya, dan jika tidak diaudit secara berkala, ada risiko bahwa merek-merek kecil akan tersisih dari hasil pencarian utama.

5. Akuntabilitas dan Tanggung Jawab (Accountability and Responsibility)

Setiap pihak yang mengembangkan, menerapkan, dan menggunakan AI harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan. Dalam praktiknya, hal ini dapat diwujudkan melalui regulasi yang mewajibkan perusahaan teknologi untuk melakukan audit algoritma secara berkala guna memastikan tidak ada bias atau dampak negatif yang tidak terduga.

Misalnya, Uni Eropa telah mengembangkan Artificial Intelligence Act, yang mengharuskan transparansi dan pengawasan ketat terhadap sistem AI berisiko tinggi. Selain itu, perusahaan seperti Google dan Microsoft telah menerapkan tim khusus yang bertugas untuk meninjau kebijakan etika AI sebelum teknologi baru diluncurkan ke publik.

6. Privasi dan Perlindungan Data (Privacy and Data Protection)

Sistem AI harus melindungi hak privasi individu dengan menerapkan standar perlindungan data yang ketat, seperti enkripsi, anonimisasi, dan kebijakan pengelolaan data yang transparan. Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi serta memastikan bahwa pengguna memiliki kendali atas informasi mereka.

Contohnya, WhatsApp menggunakan enkripsi end-to-end untuk memastikan bahwa percakapan pengguna tetap pribadi dan tidak dapat diakses oleh pihak ketiga, termasuk AI yang digunakan untuk moderasi konten.

Selain itu, perusahaan teknologi besar seperti Apple menerapkan kebijakan privasi ketat dengan fitur App Tracking Transparency yang memungkinkan pengguna memilih apakah mereka ingin data mereka dilacak oleh aplikasi pihak ketiga. Di sisi lain, Uni Eropa telah memberlakukan Regulasi Umum Perlindungan Data (GDPR), yang mewajibkan organisasi untuk mendapatkan persetujuan eksplisit sebelum mengumpulkan dan memproses data pribadi pengguna.

7. Keberlanjutan (Sustainability)

AI harus dikembangkan dan digunakan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan sosial. Ini mencakup upaya untuk mengurangi jejak karbon dalam pengoperasian AI, seperti penggunaan sumber energi terbarukan dalam pusat data dan optimalisasi efisiensi daya. Selain itu, AI juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberlanjutan, misalnya dalam pengelolaan sumber daya alam, pemantauan perubahan iklim, serta optimalisasi rantai pasokan agar lebih ramah lingkungan.

Beberapa perusahaan teknologi besar telah menerapkan AI untuk menekan konsumsi energi, seperti Google yang menggunakan sistem berbasis AI untuk meningkatkan efisiensi pendinginan di pusat data mereka, yang mampu mengurangi konsumsi energi hingga 40%. Misalnya, Google menggunakan AI berbasis DeepMind untuk mengoptimalkan pendinginan di pusat data mereka, yang berhasil mengurangi konsumsi energi hingga 40%.

8. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (Human Rights and Fundamental Freedoms)

AI harus dirancang untuk mendukung dan menghormati hak asasi manusia serta kebebasan fundamental. Misalnya, sistem AI yang digunakan dalam perekrutan karyawan harus dirancang untuk menghindari bias gender atau ras. Contohnya, beberapa perusahaan teknologi telah mengembangkan algoritma yang secara otomatis mendeteksi dan mengurangi bias dalam proses seleksi kandidat. Selain itu, di sektor hukum, AI dapat membantu dalam analisis kasus dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

9. Tata Kelola yang Adaptif dan Kolaboratif (Adaptive and Collaborative Governance)

Regulasi dan kebijakan AI harus terus berkembang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menjamin fleksibilitas dalam penerapannya. Misalnya, Uni Eropa telah mengembangkan Artificial Intelligence Act, sebuah regulasi yang bertujuan untuk mengatur penggunaan AI berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkannya.

Selain itu, di Amerika Serikat, National Institute of Standards and Technology (NIST) telah merancang AI Risk Management Framework untuk membantu organisasi mengidentifikasi dan mengelola risiko AI secara efektif. Di sisi lain, negara seperti Kanada telah mengadopsi Directive on Automated Decision-Making, yang memastikan bahwa sistem AI yang digunakan dalam sektor publik transparan dan dapat diaudit.

10. Pendidikan dan Kesadaran Publik (Education and Public Awareness)

Masyarakat harus diberikan edukasi mengenai AI agar dapat menggunakannya secara bijaksana dan memahami implikasinya. Beberapa negara telah mengambil langkah konkret dalam edukasi AI. Misalnya, Finlandia meluncurkan program “Elements of AI,” kursus online gratis yang bertujuan untuk meningkatkan literasi AI di kalangan warganya.

Di Amerika Serikat, berbagai universitas telah menawarkan mata kuliah tentang etika AI, sementara di Tiongkok, pendidikan AI dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi revolusi digital.

Kesimpulan

Penerapan 10 prinsip UNESCO untuk tata kelola dan etika AI merupakan landasan penting dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan potensi besar kecerdasan buatan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, kita dapat memastikan bahwa inovasi teknologi berjalan seiring dengan:

  • Perlindungan hak asasi manusia

  • Keberlanjutan lingkungan

  • Keadilan sosial

  • Tata kelola yang adaptif

Sebagai individu dan organisasi, kita dapat mulai berkontribusi dengan cara:

Misalnya, perusahaan teknologi seperti Microsoft telah menerapkan kebijakan transparansi dalam penggunaan AI dan mengembangkan alat untuk mendeteksi bias dalam algoritma mereka. Di sektor pendidikan, universitas seperti Stanford telah menawarkan kursus gratis tentang etika AI untuk membantu masyarakat memahami implikasi teknologi ini. Selain itu, organisasi seperti OpenAI berkomitmen untuk membangun AI yang bermanfaat bagi semua orang, dengan memastikan bahwa penelitian dan pengembangan mereka tetap terbuka dan dapat diakses oleh komunitas global.

  • Mengedukasi diri sendiri dan orang lain mengenai etika AI.

  • Mengadvokasi kebijakan yang mendorong pengembangan AI yang adil dan bertanggung jawab.

  • Menggunakan teknologi AI dengan bijaksana dan memastikan transparansi dalam penerapannya.

  • Mendukung inovasi AI yang berorientasi pada keberlanjutan dan inklusivitas.

Dengan langkah-langkah konkret ini, kita dapat bersama-sama menciptakan ekosistem AI yang lebih etis dan bermanfaat bagi semua.

Next Upcoming Event

Executive Class – IT Governance with COBIT 2019 + AI Strategies and Policies

20 May 2025
- 5 Stars Hotel
  • 49

    days

  • 18

    hours

  • 4

    minutes

  • 46

    seconds

EXECUTIVE CLASS IT GOV + AI

Executive Class kembali dengan IT Governance + AI Strategies and Policies! Klik Disini untuk dapatkan Promonya!

49Days
:
10Hours
:
04Mins
:
45Secs