8 DNA Digital Sekretaris Daerah: Berpikir dan Berperilaku Sebagai Pemimpin Digital

1. Data Driven Organization berarti Pemda beralih dari pengambilan keputusan berbasis asumsi menjadi berbasis insight hasil analisis data dari berbagai aplikasi layanan untuk menciptakan kebijakan dan inovasi yang tepat sasaran.

Pemda dapat memetakan kebutuhan riil masyarakat secara akurat, bukan lagi meraba-raba atau ‘satu program untuk semua’. Hasilnya, masyarakat merasakan layanan yang lebih personal dan relevan, karena Pemda tahu persis masalah apa yang harus diselesaikan dan di mana lokasinya.

2. Warga centris dalam konteks penyelenggaraan layanan.

Layanan ‘warga-centris’ berarti layanan itu bisa diakses kapan saja dan di mana saja, yang intinya harus tersedia online 24/7. Sebaliknya, layanan ‘government-centris’ memaksa warga mengikuti jadwal dan lokasi yang ditentukan pemerintah (misalnya, di Gedung A pada jam kerja).

3. Budaya dan mindset, baik dari sisi ASN sebagai penyedia layanan maupun warga sebagai pengguna, adalah inti perubahan dari digitalisasi, bahkan lebih penting daripada sekadar penerapan teknologinya itu sendiri.

Sekda dapat mengintegrasikan indikator digital readiness dan digital literacy ke dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), serta menggagas gerakan “ASN Melek Digital” agar DNA Digital ASN terus tumbuh. Secara paralel, gerakan “Warga Melek Digital” juga bisa digulirkan untuk meningkatkan adopsi digital di sisi masyarakat.”

4. Keintegrasian digital dalam layanan administasi pemerintah ataupun layanan publik. Bertujuan untuk menyederhanakan proses bisnis yang bertele-tele, memperbaiki pengumpulan data, dan menjamin pelindungan data pribadi secara terkendali.

Penerapan integrasi layanan membutuhkan repository data kependudukan terpusat agar warga tidak perlu menginput data berulang kali. Proses integrasi ini idealnya dilakukan secara bertahap: dimulai dengan portal aplikasi satu pintu, kemudian berkembang menjadi berbagi data antar layanan (via API), dilanjutkan dengan integrasi proses bisnis, dan terakhir pemanfaatan big data analytic sebagai backbone utamanya.

5. Teladan digital dari Sekda adalah kunci utama untuk menciptakan budaya digital baru, sejalan dengan prinsip kepemimpinan “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Keteladanan ini diwujudkan melalui penerapan aturan yang konsisten, meliputi:
● Keharusan penggunaan email resmi (domain go.id, bukan gmail.com).
● Penerapan less paper serta Tanda Tangan Elektronik (TTE) dalam rapat dan tata surat.
● Kewajiban berbasis data dalam setiap laporan, rapat, dan aktivitas.
● Keharusan menggunakan saluran komunikasi digital resmi (dan bijak bermedia sosial) dengan warga.
● Kewajiban menggunakan aplikasi sesuai regulasi yang berlaku dengan integritas penuh.

6. Legasi digital sejati bukanlah sekadar aplikasi yang ada, melainkan bertumbuhnya DNA digital—kemampuan berpikir dan berperilaku digital—bagi ASN serta warga.

Ketika sikap inovatif, kolaboratif, dan berbasis data sudah tertanam menjadi “nyawa” Pemda, barulah keberlanjutan digitalisasi akan terjamin, sekalipun pimpinan berganti.

7. Risiko digital, khususnya cyber security, selalu hadir bersama kemudahan digitalisasi. Karena itu, Pemda wajib menyiapkan mekanisme keamanan lengkap, mulai dari identifikasi, proteksi, deteksi, tanggap, hingga pemulihan.

Untuk itu, Sekda perlu menerjemahkannya ke dalam aksi nyata, seperti:
● Menetapkan Tata Kelola Keamanan Informasi Daerah.
● Mengadakan Audit dan Simulasi Keamanan Digital secara rutin.
● Membangun budaya “Cyber Aware ASN”.
● Bersinergi dengan BSSN dan Diskominfo.

8. Bekerja mandiri atau Self Service Minded

Budaya “senang dilayani” ini menjadi “friksi” (hambatan) besar dalam digitalisasi. Inilah mengapa program seperti isi bensin mandiri, tanda tangan elektronik (TTE) via HP, kasir self-checkout, atau pendaftaran layanan mandiri belum berjalan optimal di negara kita. Oleh karena itu, perlu ada strategi atau upaya khusus atau “kompensasi” untuk mendobrak budaya lama tersebut.

Andi Yuniantoro

CEO Inixindo Jogja