Pernahkah kita melihat langit di malam hari apapun alasannya, baik itu gara-gara kurang kerjaan, sedang melakukan penelitian di bidang astronomi, atau pun sedang berbasa-basi pada kencan pertama karena grogi. Jika kita perhatikan susunan bintang di angkasa tampak seperti titik-titik terang acak yang tersebar di angkasa. Tapi terkadang ada satu pertanyaan konyol tiba-tiba saja muncul dalam pikiran ‘kenapa letak Alpha Centauri di sini dan Proxima Centauri di situ?’

 

Kita Hidup di Dunia yang Tak Beraturan

Pertanyaan macam itu sebenarnya tak hanya muncul, saat kita melihat bintang saja. Pada masa di mana manusia masih belum bisa memprediksi cuaca, turunnya hujan pun dianggap sesuatu yang acak. Memang dari dulu kita sudah bisa menentukan kapan pergantian musim akan terjadi tapi jam berapa dan berapa lama akan turun hujan kita sama sekali tidak memiliki gambaran. Berbeda dengan sekarang, di mana kita bisa mengetahui jam berapa dan seberapa deras hujan yang akan turun.

Tak hanya masalah cuaca, di dunia indah yang kita tinggali ini banyak pola-pola acak yang membuat manusia kehabisan akal untuk bisa memprediksinya termasuk perilaku manusia itu sendiri. Itulah mengapa dunia pemasaran yang sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia dianggap sebagai kawin silang antara ilmu ekonomi dan seni.

 

Teori Chaos

Walaupun disebut sebagai sesuatu yang tak beraturan, sebenarnya pola-pola acak memiliki teorinya sendiri yang terkenal dengan sebutan chaos theory. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Edward Lorenz seorang matematikawan dan meteorologis dari Amerika Serikat. Saat dia hendak memasukkan angka variabel dalam program komputernya, Lorenz terburu-buru mengambil kopi sehingga angka yang dia masukan tak lengkap selisih 3 angka di belakang koma dari yang seharusnya 0,506127 menjadi 0,506 . Selisih angka yang tak seberapa ini ternyata merubah seluruh pola perkiraan cuaca.

Kejadian ini kemudian dimetaforakan oleh Lorenz bahwa satu kepakan kupu-kupu di Amazon dapat menyebabkan badai di New York yang kemudian disebut dengan ‘butterfly effect’.  Butterfly Effect merupakan lahirnya teori chaos. Pada tahun 2007 Lorenz mengatakan bahwa teori chaos membuktikan bahwa cuaca tak bisa diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Teknologi paling canggih yang digunakan sekarang hanya bisa memprediksi cuaca paling lama 2 minggu ke depan.

Jika kita berpikir secara mendalam lagi, chaos atau ketidakteraturan dialami oleh hal yang paling mendasar di alam semesta kita yaitu pergerakan atom yang masih menjadi misteri. Bahkan umat manusia tercatat telah membangun terowongan sepanjang 27 KM (Large Hadron Collider)  hanya untuk meneliti pergerakan partikel penyusun atom ini.

 

Bagaimana Machine Learning Memprediksi ‘Ketidakteraturan’.

Machine learning merupakan teknologi baru yang mencoba untuk menyelesaikan permasalahan teori chaos ini. Machine learning menggunakan teknik statistik dalam sebuah sistem komputer yang menganalisis data di mana data tersebut masih terus berkembang. Untuk memahami machine learning secara fundamental, Anda dapat mengunjungi artikel Mengenal Machine Learning dari kami sebelumnya.

Machine learning sebenarnya dituntut untuk menciptakan model dari sebuah sistem chaos yang masih sama sekali belum diketahui rumus persamaannya seperti menentukan gerakan api dari kayu yang terbakar. Memang tugas yang diberikan oleh machine learning terdengar tidak mungkin untuk diselesaikan. Akan tetapi dengan data yang cukup, machine learning dapat menentukan cluster data yang digunakan untuk mengklasifikasikan data. Metode ini adalah metode yang digunakan dalam mekanika kuantum di mana pergerakan elektron memiliki suatu pola yang sebenarnya tidak terlalu acak jika kita memiliki mengamati pergerakannya sebanyak satu juta kali misalnya.

Metode data clustering ini termasuk dalam kategori unsupervised learning di mana kita sama sekali tidak memprogram “mesin yang sedang belajar” ini untuk memberi label terhadap input data. Si mesin hanya membuat grup data berdasarkan kemiripan antara satu data dengan data yang lain. Jika Anda pernah beriklan di FB Ads atau Google Ads, Anda tentunya familiar dengan istilah ‘look alike’ atau ‘similar user’. Istilah tersebut digunakan dalam menentukan target audience dari iklan yang akan kita tayangkan di media sosial atau pun di search engine. Look a Like (digunakan oleh Facebook) atau Similar User (digunakan oleh Google) merupakan kelompok audience memiliki kesamaan atribut data dengan pengguna apps atau pengunjung website yang kita miliki. Tentunya metode ini hanya bisa digunakan jika kita telah melakukan pengumpulan data (data mining) bisa dengan Google Analytics maupun Facebook Pixel. Lalu apa saja kesamaan data yang dimiliki target audience tersebut dengan pengguna apps atau pengunjung website kita? Kita tak akan pernah tahu dan mungkin si pembuat machine learning milik Google atau Facebook juga tak seberapa tahu.

 

Dengan Adanya Machine Learning Apakah Masih Ada Yang Disebut Dengan Ketidakteraturan?

Sebenarnya masih banyak persoalan yang masih belum terpecahkan walaupun kita menggunakan machine learning. Akan tetapi jika kita memberi kesempatan kepada machine learning untuk terus belajar siapa tahu machine learning akan mengalahkan manusia di segala bidang. Bahkan belakangan perusahaan search engine terbesar di dunia sedang mengembangkan machine learning dalam Artificial Intelligence yang bisa membuat Artificial Intelligence sendiri.

Perkembangan machine learning yang semakin cepat ini kemudian memunculkan pertanyaan di atas, apakah masih ada yang disebut dengan ketidakteraturan? Apakah semua hal di semesta ini cuma sebuah algoritma hukum sebab-akibat?

 

****

 

Jika Anda tertarik untuk mempelajari machine learning lebih dalam lagi, Anda dapat mengikuti Kelas Machine Learning yang diselenggarakan oleh Inixindo Jogja.