Berkenalan Dengan Julia, Bahasa Pemrograman Berperforma Tinggi Tapi Mudah Dipelajari

Berkenalan Dengan Julia, Bahasa Pemrograman Berperforma Tinggi Tapi Mudah Dipelajari

Bulan Juli telah tiba. Mungkin di bulan ini kita akan sibuk mengucapkan ulang tahun kepada teman yang bernama Yuli, Yulia, Julia, atau Yulianto. Omong-omong tentang Julia, ada bahasa pemrograman dengan nama tersebut dan bisa dibilang masih lucu-lucunya karena belum genap berumur setahun sejak stable release versi 1.0 pada Agustus 2018. Yup! Secara de facto Julia lahir di bulan Agustus. Mungkin seharusnya para kreator Julia mulai memikirkan untuk mengganti nama Julia menjadi Agus.

Julia merupakan bahasa pemrograman umum (general purpose) level atas (high level) yang dikembangkan oleh tim dari MIT (Massachusetts Institutes of Technology). Walaupun belum genap setahun, komunitas Julia berkembang secara eksponensial. Pada Januari 2019 saja, Julia telah mencapai 3,2 juta unduhan dan lebih dari 1 juta Docker image dari Julia tersebar di seantero dunia.

 

Latar Belakang Diciptakannya Julia

Julia lahir dari tangan Jeff Bezanson, Stefan Karpinski, Viral B. Shah, dan Alan Edelman. Mereka adalah para ilmuwan komputer di MIT yang memiliki cita-cita menciptakan bahasa pemrograman high-level tapi dengan performa yang cepat untuk siapa saja. Pada tahun 2012, mereka merilis website untuk memberi kabar kepada dunia tentang misi mereka kepada dunia. Julia sendiri sudah rilis di tahun yang sama semenjak para kreator merilis website-nya tapi versi yang dirilis pada saat itu masih merupakan versi alfa dan beta. Sintaks pada versi sebelum versi 1.0 masih sering berubah-ubah sehingga jauh dari kata stabil.

Jika ditanya kenapa memilih nama ‘Julia’, para kreator tersebut hanya memberikan jawaban diplomatis, “Tak ada alasan khusus dalam memberi nama. Kami hanya menerima usulan dari teman kami dan menurut kami itu nama yang cantik.” 

Julia lahir karena para kreator ingin memecahkan masalah klasik yang dialami oleh para programmer. Saat memilih bahasa pemrograman, para programmer selalu dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih salah satu saja antara performa yang dimiliki oleh bahasa pemrograman low-level atau kemudahan yang ditawarkan oleh bahasa pemrograman high-level.

Edelmen melakukan pengamatan yang dilakukan di organisasi besar bahwa seringkali pengembangan software dilakukan dengan menggunakan bahasa pemrograman high-level di tahap awal kemudian organisasi tersebut kemudian merekrut tim lain untuk menulis ulang kode software-nya dengan bahasa pemrograman low level. Menurutnya, metode ini sangat tidak efektif karena harus memulai siklus baru. Itulah sebabnya dia dan teman-temannya menciptakan Julia.

 

Apa yang Membuat Julia Berbeda

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Julia adalah bahasa pemrograman high-level dengan performa yang dapat menyaingi bahasa pemrograman low level. Julia disebut-sebut sebagai bahasa pemrograman yang memiliki kecepatan seperti C dengan kemudahan seperti Python, dinamis seperti Ruby, kemampuan matematika yang hebat seperti MatLab, dan keahlian statistik seperti R. Memang janji ini terkesan sedikit utopis, akan tetapi dengan angka popularitas Julia yang naik dengan cepat agaknya sebagian besar janji ini berhasil ditepati. 

Julia memang bahasa pemrograman yang dapat digunakan untuk keperluan apapun, akan tetapi para kreator dari Julia mengatakan bahwa Julia lebih menyasar ilmuwan. Dengan performanya yang tinggi, Julia diharapkan dapat membantu para ilmuwan untuk melakukan analitik big data, melakukan penelitian yang memiliki komputasi tinggi untuk penelitian ilmiah, serta simulasi desain rekayasa.

Sama seperti Python dan JavaScript yang populer belakangan ini, Julia merupakan bahasa pemrograman multi-paradigma yang berarti bisa digunakan untuk pemrograman object-oriented maupun pemrograman fungsional. Selain itu, bahasa pemrograman ini juga mendukung penggunaan multi-thread dan multi-core pada CPU secara built-in baik itu dalam sebuah chip ataupun dalam sebuah sistem yang memiliki banyak chip. Ke depannya para kreator dari Julia akan meningkatkan kemampuan Julia dalam menggunakan berbagai macam jenis core seperti Graphic Processing Unit (GPU) dan Tensor Processing Unit (TPU) milik Google. Tentu hal ini akan membantu performa Julia dalam pengembangan AI maupun visualisasi big data.

Core yang ada dalam Julia sendiri menggunakan bahasa C dan C++ dalam LLVM-nya. Yup! Feel dari Julia seperti scripting language yang menggunakan JIT compiler. Akan tetapi, Julia dapat juga di-compile ke berbagai kode natif bahasa pemrograman low-level.

 

Syntax Julia Mirip Dengan Python

Karakter syntax yang digunakan dalam Julia sangat sederhana dan memang dirancang untuk keperluan matematis. Hal ini tentu saja mengingatkan kita dengan bahasa pemrograman Python. Berikut beberapa contoh syntax yang digunakan dalam Julia:

 

1 + 1      # => 2
8 1      # => 7
10 * 2     # => 20
35 / 5     # => 7.0
10 / 2     # => 5.0  
div(5, 2# => 2    
5 \ 35     # => 7.0
2^2        # => 4
12 % 10    # => 2


# Contoh variabel
someVar = 5
if someVar > 10
    println(“someVar is totally bigger than 10.”)
elseif someVar < 10    # Klausa ini opsional
    println(“someVar is smaller than 10.”)
else                    # Klausa ini juga optional.
    println(“someVar is indeed 10.”)
end
# => Mengeluarkan “some var is smaller than 10”


# Membuat fungsi
function add(x, y)
    println(“x is $x and y is $y”)
    x + y
end
add(5, 6)
# => x is 5 and y is 6
# => 11

Untuk dokumentasi lebih lengkapnya,bisa dilihat di situs Julia Programming

 

***

Itulah tadi sekilas tentang bahasa pemrograman baru Julia. Kepopuleran Julia yang langsung meningkat drastis mungkin saja disebabkan oleh semakin umumnya pemakaian machine learning hampir di semua industri. Dengan fitur-fitur yang dimiliki dan yang sedang dikembangkan oleh Julia, bukan tidak mungkin jika Julia juga bisa digunakan untuk game development sehingga game dapat memanfaatkan pemrograman multi-threded secara efisien.

Comday Recap : Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning

Comday Recap : Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning

Sebagian besar orang awam menganggap bahwa mempelajari machine learning itu susah dan bikin pusing. Pandangan ini sepenuhnya benar tapi juga tidak sepenuhnya salah karena memang machine learning itu tidak sebatas membuat tapi juga menggunakan. Hal inilah yang coba disampaikan Umar Affandi dalam acara Community Day yang bertajuk “Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning” pada Kamis, 4 Juli 2019.

Dalam acara ini, pria yang akrab disapa Mas Umar ini menjelaskan tentang proses-proses yang ada dalam data  science terutama pada machine learning. Mas umar juga menerangkan secara detil perbedaan antara algoritma machine learning dan aplikasi pada umumnya. Dalam aplikasi biasa, developer membuat algoritma yang berfungsi untuk menghasilkan output dari input yang user berikan. Sementara dalam machine learning, algoritma digunakan untuk menentukan fungsi dari data input dan output yang telah kita miliki. Dengan kata lain kita hanya memberikan fakta-fakta dan tugas machine learning adalah mencari korelasinya. Itulah kenapa machine learning selalu dihubungkan dengan big data agar tingkat akurasi machine learning semakin tinggi.

Selain penjelasan fundamental tentang data science, machine learning, dan big data, Mas Umar juga memberikan demo membangun machine learning dengan bahasa pemrograman R. Dalam demo ini Mas Umar menggunakan platform Azure. Bahasa pemrograman R digunakan dalam membuat model machine learning dalam Azure sehingga mematahkan mitos bahwa mengembangkan machine learning hanya bisa dilakukan oleh programmer yang sudah ahli.

Comday Recap : Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning 1
Comday Recap : Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning 2
Comday Recap : Pengenalan Pemrograman R dalam Machine Learning 3
#ComDay – Pengenalan Bahasa Pemrograman R dalam Machine Learning

#ComDay – Pengenalan Bahasa Pemrograman R dalam Machine Learning

#ComDay – Pengenalan Bahasa Pemrograman R dalam Machine Learning

#ComDay - Pengenalan Bahasa Pemrograman R dalam Machine Learning 4

Data science menjadi primadona 5 tahun belakangan ini. Perusahaan-perusahaan baik skala besar maupun menengah bahkan sekelas start up sekalipun berlomba-lomba merekrut data scientist dan data analyst. Tren ini disebabkan oleh perkembangan machine learning yang meroket beberapa tahun lalu.

 

Machine learning membuat analitik data semakin mudah. Untuk memprediksi sesuatu yang dapat dijadikan acuan untuk membuat keputusan, seorang data scientist tak perlu menulis rumus di papan tulis yang sebesar baliho. Bahkan kini siapa pun bisa menerapkan data science untuk kepentingan bisnis masing-masing dengan machine learning. Kemudahan analitik data ini juga ditunjang dengan kemunculan big data sebagai ‘nutrisi’ bagi machine learning sehingga prediksi yang dihasilkan semakin akurat.

 

Yang jadi permasalahan sekarang adalah banyak dari kita yang mengira bahwa machine learning itu terlalu sulit untuk dipelajari. Selain itu, anggapan bahwa machine learning dibuat hanya untuk seorang ahli pemrograman juga turut meredupkan semangat orang untuk belajar machine learning maupun data science.

 

Memang harus diakui machine learning tidak lepas dari aktivitas pemrograman. Akan tetapi bahasa pemrograman yang biasa digunakan untuk machine learning tidak seberapa sulit untuk dipelajari. Salah satu bahasa yang populer digunakan untuk machine learning adalah R. R merupakan bahasa pemrograman yang sengaja diciptakan untuk komputasi statistik yang sebelumnya banyak digunakan oleh para statistikawan.

 

Penasaran semudah apa membangun machine learning dengan pemrograman R? Ikuti Community Day “Pengenalan Bahasa Pemrograman R dalam Machine Learning” pada tanggal 4 Juli 2019 pukul 14.00 yang diadakan di EduparX, Inixindo Jogja.

 

Yang akan Anda dapatkan dalam Comday ini:

  • Mengenal konsep data science, machine learning, big data.
  • Mengenal pemrograman R
  • Demonstrasi implementasi machine learning dalam memprediksi produk mana yang akan memiliki penjualan paling tinggi dalam bulan tertentu

 

Acara ini gratis dengan tempat terbatas. Klik tombol ‘daftar sekarang’ untuk pendaftaran!

Biaya

Free (tempat terbatas)

DATE AND TIME

Kamis, 4 Juli 2019
14.00 WIB – Selesai

LOCATION

Eduparx – Inixindo Jogja
Jalan Kenari No 69 Yogyakarta
View Maps

Maaf, pendaftaran telah ditutup karena telah mencapai batas kapasitas peserta!

GraphQL : Solusi Pintar untuk Berkomunikasi dengan API

GraphQL : Solusi Pintar untuk Berkomunikasi dengan API

Beberapa waktu yang lalu, kita sempat membahas perbedaan antara jenis database SQL dan NoSQL di mana perbedaan terbesar terletak pada bahasa query-nya. Mumpung masih mengandung QL dalam memori kita walaupun sebenarnya agak berbeda, kali ini kita mengupas tentang bahasa query yang lain yaitu GraphQL.

Berbeda dengan SQL dan NoSQL yang merupakan bahasa query database, GraphQL merupakan bahasa query untuk sebuah API (Application Program Interface) yang bisa juga dinobatkan sebagai konsep baru API. Oleh karena itu, GraphQL ini tidak bisa ditandingkan dengan SQL atau pun NoSQL. Lawan sesungguhnya GraphQL ini adalah siapa lagi kalau bukan API legendaris yang dipakai jutaan umat manusia yaitu REST (Representation State Transfer).

 

Asal-usul GraphQL

GraphQL diciptakan oleh tim internal Facebook yang juga digunakan untuk keperluan internal pada tahun 2012. Karena dianggap terlalu sakti untuk digunakan Facebook sendiri, akhirnya pada tahun 2015 Facebook merilis GraphQL untuk publik. Project GraphQL kemudian berpindah tangan dari Facebook ke organisasi baru yaitu GraphQL Foundation yang berada di bawah naungan Linux Foundation pada tahun 2018.

Ide diciptakannya GraphQL sendiri adalah untuk memecahkan masalah keterbatasan yang dimiliki oleh REST API. Contohnya, katakanlah kita ingin menampilkan beberapa item buku dalam sebuah situs toko buku dan dalam setiap item menampilkan profil singkat dari penulis buku tersebut. Jika kita menggunakan API tradisional kita harus menarik data dari dua endpoint. Pertama, data item yang berisi judul buku, harga, atau sinopsis dengan endpoint misal tokobuku.shop/item/:id. Kedua, data penulis yang berisi nama, foto profil, buku apa saja yang pernah ditulis, dan biografi dengan endpoint tokobuku.shop/author/:id. Beban akan semakin bertambah jika kita harus menampilkan data lain seperti review dari pembeli dan lain sebagainya.

 

Solusi yang Bernama GraphQL

Solusi yang ditawarkan oleh GraphQL sebenarnya sangat simpel, “daripada harus mengurus beberapa endpoint ‘bodoh’ , kenapa tidak buat satu endpoint ‘pintar’ yang bisa menangani query rumit lalu mengemas output data dalam bentuk apapun yang client minta.” Pada intinya GraphQL berfungsi sebagai layer antara client dan beberapa data source, menerima request dari client, dan memberikan data sesuai dengan apa yang diminta. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari gambar berikut.

GraphQL : Solusi Pintar untuk Berkomunikasi dengan API 5

Jika masih bingung, saatnya kita bermain metafora! Bayangkan kita adalah client yang banyak maunya, server GraphQL adalah seorang personal assistant, dan sumber data adalah toko. Suatu hari kita butuh mengambil laundry, memesan makanan, dan belanja bulanan. Karena kita tak mau repot dan memiliki personal assistant yang tahu di mana letak toko langganan kita, kita tak perlu mendatangi tempat laundry, restoran, atau supermarket. Yang perlu kita lakukan hanyalah menyerahkan daftar belanjaan, mengatakan menu yang kita inginkan, dan memberikan nota laundry ke personal assistant kita. Kita tinggal santai-santai di rumah atau mengerjakan hal lain dan menunggu personal assistant kita datang membawa barang-barang pesanan kita.

 

3 Pondasi Utama

GraphQL sendiri dibangun atas 3 pondasi utama yaitu query, resolver, dan schema.

 

Query

Dengan masih memakai metafora yang sama, kita tentunya harus memakai bahasa yang sama dengan assistant kita agar komunikasi berjalan lancar bukan? Walaupun bahasa query yang digunakan GraphQL agak berbeda dengan bahasa query yang lain, query tersebut sangat sederhana dan mudah dipahami. Berikut contoh pemakaian query GraphQL untuk menarik data salah satu item buku.

 

query {
  book(id: “10002a”) {
    title
    synopsis
    author {
      name
      avatarUrl
      profileUrl
      }
   }
}

 

Familiar? Yup! Query GraphQL sangat mirip dengan dokumen JSON.  Dalam GraphQL kita dapat memasukan argumen untuk setiap field. Agar bisa men-generate item buku secara dinamis, kita dapat memasukkan query berikut.

 

query ($id: String) {
  book(id: $id) {
    title
    synopsis
    author {
      name
      avatarUrl
      profileUrl
    }
  }
}

 

Resolver

Kembali lagi ke metafora sebelumnya. Personal assistant kita tidak tahu akan ke mana jika dia tidak mengetahui alamat dari masing-masing tempat yang akan dituju. Untuk kita harus memberi tahu alamat dari masing-masing tempat. Sebuah resolver memberitahu GraphQL bagaimana dan di mana sebuah data akan dikirimkan sesuai dengan field-nya masing-masing. Berikut merupakan contoh resolver yang menggunakan GraphQL-Tools dari Apollo.

 

Query: {
  book(root, args) {
    return Books.find({ id: args.id });
  }},
Book: {
  author(book) {
    return Users.find({ id: book.authorId})
  }}

 

Dalam query di atas, selain memiliki resolver pada root kita juga memiliki resolver pada field author di dalam book.

 

Schema

Schema adalah pondasi utama yang paling utama atau jika meminjam salah satu bapak-bapak YouTuber yang sangat jenius itu schema merupakan “core of the core” dari GraphQL. Akan terlalu panjang jika membahas schema dalam GraphQL. Jika penasaran dengan bagaimana schema dari GraphQL silahkan kunjungi situs GraphQL yang memuat dokumentasi schema GraphQL.

 

***

 

Itulah tadi artikel yang bertujuan mengenalkan GraphQL. Tak akan ada habisnya jika kita membahas GraphQL secara keseluruhan karena banyak sekali library Node.JS yang memiliki relasi terhadap graphQL ini seperti Express ataupun Gatsby.

Hadirkan PWA di Google Play Store dengan Trusted Web Activity

Hadirkan PWA di Google Play Store dengan Trusted Web Activity

Saat ini, web developer dimanjakan dengan teknologi yang dapat meng-compile web app mereka menjadi native app seperti React Native atau Ionic. Ada juga teknologi yang dapat membuat web app tampak seperti native secara instan melalui PWA. Belum puas dengan PWA, kini Google kembali memanjakan web developer dengan Chrome versi 72 dan setelahnya dengan fitur yang disebut trusted web activities. Trusted Web Activities (TWA) memungkinkan para web developer untuk mendistribusikan PWA mereka melalui Google Play Store.

Bukan Teknologi yang Benar-benar Baru

Sebelum membahas TWA lebih jauh lagi, mari kita flashback sejenak bagaimana Android developer menampilkan konten web kepada pengguna aplikasi mereka. Ada dua protokol yang bisa digunakan untuk menampilkan konten web melalui android app:

  1. Webview
    Cara ini adalah cara yang paling sering digunakan oleh Android developer karena lebih fleksibel. Webview membuat developer dapat menyematkan konten web dalam tampilan native, menginjeksi cookies, dan ‘mengikat’ (binding) kode Javascript ke dalam kode Android (Java, Kotlin, dsb). Kekurangan dari metode ini adalah webview cukup menyita hardware resources seperti proses dan memory. Metode webview ini tidak saling berbagi ‘state’ (cookies dan cache) dengan browser.

     

  2. Chrome Custom Tab (CCT)
    Chrome Custom Tab merupakan fitur yang disediakan oleh Chrome mulai dari versi 45. Metode ini akan membuka tab chrome khusus ketika pengguna membuka link halaman web. Kelebihan dari metode ini adalah performa tinggi tapi dengan konsekuensi harus berbagi cookies dan cache dengan Google Chrome. Saat pengguna menggunakan CCT, aplikasi tidak bisa mengakses cookies, storage, dan cache dari halaman web tersebut yang sangat berguna untuk keperluan riset UX. Selain itu, bagaimanapun juga CCT merupakan bagian dari Google Chrome sehingga kita masih melihat bar atas khas milik Google Chrome yang menampilkan alamat URL.

 

Apa Bedanya Trusted Web Activities dengan 2 Metode di Atas?

Tentu saja TWA merupakan teknologi yang lebih baru bila dibandingkan dengan 2 metode tersebut. TWA hampir mirip dengan CCT tapi sama sekali tidak menampilkan UI dari browser dalam hal ini Google Chrome. Bar paling atas di mana kita bisa melihat alamat URL tidak lagi tampak. Hal ini berguna bagi native app untuk menampilkan atau mengupdate kebijakan privasi dan konten statis lainnya sehingga pengguna merasa bahwa mereka masih di app yang sama.

Fungsi yang paling penting dari TWA seperti yang telah disebutkan dalam judul artikel ini yaitu membuat PWA yang telah kita bangun bisa didistribusikan via Google Play Store. Pengguna tidak lagi harus mengetik URL dalam Chrome dan menekan menu ‘Add to Homescreen’ untuk menginstall PWA. Cara menginstall PWA yang sudah mendukung TWA sama persis dengan menginstal aplikasi native lainnya.  File APK yang akan diunduh oleh pengguna hanya sebesar beberapa ratus KB saja. ServiceWorker dalam PWA dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan sehingga sama seperti PWA ‘standar’ yang dapat dibuka secara offline.

Walaupun lebih canggih daripada CCT, TWA masih mewariskan kekurangan CCT yang lain yaitu native app tidak bisa mengakses web state karena pada dasarnya aplikasi ini masih berjalan di atas Chrome. Oleh karena itu, sangat disarankan kepada para developer untuk meletakkan metode login di dalam web app dengan OAuth bukan di dalam package APK.

 

Apa yang Harus Dipenuhi Agar PWA Kita Dapat Didistribusikan Melalui Google Play Store?

Dalam pengerjaan proyek TWA ini, seorang web developer membutuhkan tools tambahan di luar proyek PWA biasa. Jadi tidak hanya mengandalkan code editor dan server saja. Tools yang dibutuhkan antara lain:

  • Android Studio
  • TWA Support Library
  • Google Play Developer Account (Premium)

Dalam PWA, selama ServiceWorker dan web app kita berjalan tanpa masalah, pengunjung langsung dapat ‘menginstal’  web app kita. Jika ingin mendistribusikannya melalui Google Play Store tentu saja akan sedikit lebih ribet. TWA tidak serta merta membuat Google mau mendistribusikan di Play Store miliknya. Berikut ini syarat yang harus dimiliki PWA agar dapat didistribusikan di Play Store:

  • Tidak melanggar kebijakan Google Play
  • Dapat diinstall
  • Skor performa Lighthouse (tools untuk debugging PWA) harus di atas 80
  • Direkomendasikan untuk memiliki kebijakan privasi

 

***

Akhir kata, dengan hadirnya TWA ini pasar web development akan semakin ramai. Jika Anda seorang web developer yang menguasai banyak teknologi termasuk PWA di dalamnya, pilihan Anda untuk menginvestasikan waktu dan pikiran dalam menguasai skill ini sudah tepat. Jika Anda masih ingin meningkatkan kemampuan web development dengan menguasai teknologi PWA, Anda dapat mengikuti kelas pelatihan Progressive Web App dari Inixindo Jogja.