Company Visit : SMK Negeri 1 Purwokerto

Company Visit : SMK Negeri 1 Purwokerto

Inixindo jogja kedatangan tamu siswa dan siswi dari SMKN 1 Purwokerto. Kedatangan siswa dan siswi tersebut untuk mempelajari tentang linux dan pemograman, serta untuk sesi siangnya mereka ingin mempelajari tentang software dan internet.

 

Company Visit : SMK Negeri 1 Purwokerto 1 Company Visit : SMK Negeri 1 Purwokerto 2 Company Visit : SMK Negeri 1 Purwokerto 3

 

Siswa dan siswi SMKN 1 purwokerto disambut oleh Citra Arfanudin selaku Instruktur Inixindo Jogja.  Pria yang akrab disapa Arfan ini menjelaskan tentang digital skill yang wajib dimiliki oleh siswa dan siswi jika ingin memasuki dunia industri. Digital skill yang dimaksud diantaranya seperti kemampuan untuk communication & collaborate seperti menggunakan google sheet untuk memudahkan berkolaraborasi dengan rekan kerja, create & innovate seperti memanfaatkan Canva untuk fitur desain grafis, identity and wellbeing seperti memanfaatkan media sosial untuk membentuk identitas diri secara online, serta tech and learn dimana siswa diharapkan juga mampu mempunyai skill dalam presentasi. Digital skill tersebut akan sangat berharga jika dimiliki saat ini, agar kedepannya siswa dapat menghadapi kuatnya arus perubahan digital dan siap memasuki dunia industri.

Comday Recap : Mengembangkan Microservice Menggunakan Docker

Comday Recap : Mengembangkan Microservice Menggunakan Docker

Masalah yang sering dialami dalam pengembangan microservices adalah saat microservices tersebut membutuhkan environment dan dependencies yang berbeda-beda. Inilah yang melatarbelakangi istilah ‘dependency hell’ di mana mengurusi dependencies agar tidak mengganggu service yang lain membuat kita merasa berada di neraka. Tentunya hal ini dapat menghambat produktivitas dari developer maupun sysadmin.

Poin itulah yang coba disampaikan Yanuar Hadiyanto selaku pembicara dalam acara Comday tanggal 11 April 2019 kemarin dengan tema”Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker” di EduparX, Inixindo Jogja. Dalam acara ini, Yanuar mengenalkan teknologi Docker yang menggunakan konsep kontainer di mana sebuah software dikemas bersama dengan environment dan dependency-nya masing lalu diisolasi sehingga tidak mengganggu software lain yang berada dalam satu sistem.

 

Comday Recap : Mengembangkan Microservice Menggunakan Docker 4 Comday Recap : Mengembangkan Microservice Menggunakan Docker 5

 

“Fungsi Docker sebenarnya mirip dengan Virtual Machine (VM). Akan tetapi, Docker dapat menghemat penggunaan resource hardware karena tidak seperti VM yang berjalan dengan sistem operasi sendiri dan menggunakan virtualisasi hardware,” ujar lelaki yang juga merupakan instruktur di Inixindo Jogja ini.

Dalam mengenalkan teknologi Docker dalam pengembangan microservices ini, Yanuar juga melakukan sesi demo. Di sesi ini, Yanuar mengunduh kontainer yang telah dibuat oleh orang lain dan menjalankan beberapa kontainer tersebut dalam satu OS. Acara ini ditutup dengan sesi tanya jawab.

***

Bagi Anda yang tertarik untuk mempelajari Docker untuk menegembangkan microservices, Inixindo Jogja akan mengadakan kelas pelatihan “Microservices With Docker” pada bulan Mei mendatang. Nantikan informasi selanjutnya dari kami dengan mengaktifkan notifikasi untuk situs ini!

Pelatihan Progressive Web Application

Pelatihan Progressive Web Application

Training Class

Progressive Web Application

Buat sebuah aplikasi dengan fitur dan tampilan seperti native tapi dalam bentuk web application, yang reliable, cepat, dan menawan.

Pelatihan Progressive Web Application 6

Dapatkan Sertifikat

Dapatkan sertikasi sebagai sebuah bukti anda sudah mengikuti pelatihan di Inixindo

Pelatihan Progressive Web Application 7

Best Practice

Setiap pelatihan di Inixindo diterapkan berdasarkan best practice

Pelatihan Progressive Web Application 8

Langsung dari Ahlinya

Pelatihan dipandu langsung oleh instruktur yang ahli di bidangnya

Apa itu PWA?

Berkembangnya smartphone dan device berbasis mobile berbanding lurus dengan banyaknya kebutuhan terhadap aplikasi berbasis mobile yang menimbukan banyak permasalahan, salah satunya adalah Multiplatform Support. Akhirnya Google membuat terobosan baru yaitu Progressive Web Apps (PWAs) untuk mensupport para developers web untuk membuat sebuah aplikasi dengan fitur dan tampilan seperti native tapi dalam bentuk web application, yang reliable, cepat, dan menawan.

WHY

Mengapa Progressive Web Application?

Pelatihan Progressive Web Application 9

Instant Loading

Dengan teknologi yang dinamakan service worker kita dapat mengkases aplikasi/website dengan Progressive Web Application meskipun dalam keadaan offline sekalipun.

Pelatihan Progressive Web Application 10

Fresh dan Safe

PWA lebih ringan dan dapat diakses dengan cepat selain itu aplikasi dengan PWA lebih aman karena menggunakan protokol HTTPS

Pelatihan Progressive Web Application 11

Connectivity Independent

Dengan teknologi Progressive Web Application ini dapat mempermudah kita mengakses di kondisi koneksi apapun

Pelatihan Progressive Web Application 12

Discoverable

PWA bisa teridentifikasi sebagai “aplikasi” oleh mobile device, dengan menggunakan W3C Web App Manifest dan Service Worker registration scope yang memungkian mesin pencari bisa menemukannya.

Pelatihan Progressive Web Application 13

App-like Mode

Dengan menggunakan PWA ,kita seolah membuat aplikasi native pada smartphone yang tidak harus diinstal pada smartphone kita. Ini memungkinkan karena PWA sendiri dibuat dengan model App Shell dalam full screen mode.

Pelatihan Progressive Web Application 14

Re-engageable, Installable, dan Linkable

PWA mempunyai fitur yang sangat beragam sehingga akan lebih praktis digunakan. seperti yang kita ketahui, saat kita mengakses suatu website yang terintegrasi dengan PWA, akan memunculkan notifikasi apakah kita ingin menambahkan ke Homescreen.

Dapatkan Penawaran Special Hari ini!

CHOOSE US

Mengapa Inixindo?

Z

Berpengalaman Lebih dari 27 Tahun

Inixindo sudah berpengalaman dalam bidan Teknologi Informasi sejak 1991 bersamaan dengan kenaikan popularitas Open System di tahun 90-an

Z

Google Developers Authorized Training Partner

Inixindo merupakan Google Developers Authorized Training Partner. Google adalah perusahaan yang merupakan mengembangkan teknologi Progressive Web Application

Z

Belajar Langsung dari Ahlinya

Instructor kami merupakan fasilitator Google Developer KEJAR untuk program Mobile Web Specialist yang diselenggarakan oleh Google

Pelatihan Progressive Web Application 15

Dapatkan Penawaran & Silabus Sekarang!

Mengenal Headless CMS

Mengenal Headless CMS

 

Siapa yang tak tahu tentang CMS? Mungkin semua akan sepakat bahwa mulai dari web developer hardcore yang harus menulis kode di mana pun dan kapan pun sampai ke penulis blog romantis yang harus minum kopi di saat senja dan turun hujan saat menuangkan idenya dalam tulisan membutuhkan content management system dalam mengelola suatu website. Terima kasih kepada WordPress sebagai platform CMS open source yang mempopulerkan blogging kepada siapa saja.

CMS dan Content Management System adalah sebuah sistem yang dibuat untuk mendukung penerbitan (dalam hal ini penerbitan di web) mulai dari penulisan, editing, modifikasi, dan publikasi konten. Tujuan CMS dibuat sebenarnya adalah untuk memudahkan penulis dalam mempublikasikan artikelnya. CMS juga mendukung iklim kolaboratif sehingga satu media bisa memiliki beberapa koresponden sekaligus yang bisa mengunggah artikelnya di mana saja dan kapan saja karena umumnya CMS dibuat dengan memanfaatkan teknologi Web.

 

CMS Tradisional

Sebelum kita membahas tentang headless CMS, mari kita mengingat kembali tentang karakteristik dan metode dari CMS tradisional seperti WordPress atau Joomla. Pada CMS tradisional, seorang user (dalam hal ini kreator konten) menulis konten di dalam sebuah editor baik WYSIWYG (What You See Is What You Get) di mana tampilan yang dituliskan hampir menyerupai tampilan ketika konten terpublikasi di halaman web, walaupun ada beberapa CMS yang hanya memiliki HTML editor di mana penulis harus memiliki pengetahuan tentang kode HTML. Konten yang ditulis ini kemudian disimpan dalam database dan kemudian disajikan oleh template tampilan yang dimiliki oleh CMS tersebut menjadi sebuah halaman web. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar berikut.

 

Mengenal Headless CMS 16

 

Jika kita menggunakan CMS, dalam mengubah tampilan akhir web yang bisa kita lakukan hanyalah mengganti template yang sudah disediakan oleh platform CMS tersebut. Lalu bagaimana jika ingin melakukan kustomisasi pada tampilan tampilan akhir halaman web? Ada dua cara yaitu menginstall plugin web builder pada CMS kita dan yang kedua adalah membuat mengedit file template yang ada di dalam CMS. Kedua solusi ini sama-sama mendatangkan problem baru. Website builder plugin dapat membuat performa web kita menurun karena banyak sekali proses yang berjalan sebelum halaman web berhasil ditampilkan. Sedangkan, jika kita memilih untuk mengedit sendiri file template yang berada di dalam CMS dapat dibayangkan berapa banyak waktu yang harus diperlukan untuk mempelajari ribuan baris kode yang dimiliki CMS tersebut dan tentu saja kita juga harus berada dalam batasan logic dari CMS tersebut.

Kekurangan dari CMS tradisional adalah banyak front-end developer yang tidak bisa mengembangkan bakat terpendamnya karena biasanya klien sebagai user dari CMS ingin sesuatu yang mudah digunakan dan sang back-end juga agaknya keberatan jika harus membuat CMS sendiri dengan deadline yang alakadarnya.

 

Headless CMS

Berbeda dari CMS tradisional memiliki komponen yang bisa langsung menyajikan tampilan front-end ke audience, headless CMS sama sekali tidak bisa men-generate halaman web secara otomatis. Inilah mengapa model CMS ini kemudian disebut ‘headless’ atau tanpa kepala yang berarti tak memiliki wajah. Kami sempat penasaran kenapa tidak disebut faceless saja agar tidak menimbulkan aura horor dan masih belum menemukan jawabannya.

Headless CMS tidak memliki sistem front-end secara default seperti CMS tradisional sehingga CMS ini sering disebut dengan front-end agnostic. Headless CMS menyajikan konten secara mentah melalui API. Hal ini menjadikan headless CMS dapat digunakan di berbagai macam framework. Untuk perbedaan lebih jelasnya bisa dilihat di gambar berikut.

 

Mengenal Headless CMS 17

 

Banyak dari developer headless CMS ini menyebut produknya sebagai CaaS (Content as a Service) hasil dari modifikasi SaaS (Software as a Service). Jika sebelumnya developer CMS versi komersial tradisional menjual secara bundling (domain, platform CMS, dan hosting). Untuk developer headless CMS komersial biasanya menerapkan tarif sesuai dengan besarnya konten. Tapi jangan khawatir dulu, banyak juga headless CMS open source gratis yang bisa kita deploy sendiri di cloud VPS milik kita.

Hadirnya headless CMS ini tidak langsung serta-merta menyelesaikan masalah yang dibahas dalam CMS tradisional sebelumnya. Sama seperti sistem-sistem yang lain, headless CMS ini memiliki pro dan kontra.

Pro

Inilah beberapa kelebihan headless CMS bila dibandingkan dengan CMS tradisional:

  • Front-end agnostic
    Ini merupakan alasan kenapa headless CMS diciptakan. Konten yang berada dalam headless CMS dapat disesuaikan dengan platform framework front-end seperti React, Vue, atau Angular.
  • API
    Headless CMS menggunakan API sebagai penghubung antara back-end dan front-end yang pada dasarnya merupakan dua sistem yang terpisah dan juga memungkinkan berada dalam 2 server yang berbeda. Hal ini berarti menurunkan resiko kehilangan seluruh konten jika ada yang berhasil menembus keamanan web server kita.
  • Future proof
    Karena headless CMS pada dasarnya hanya menyajikan data mentah, jika ada inovasi teknologi baru maka konten-konten yang ada di dalam CMS ini dapat dengan cepat disesuaikan. Sebagai contoh, jika ada platform voice assistant baru di device tanpa layar seperti smartwatch atau smart speaker maka kita akan dengan mudah memasukkan konten kita di platform tersebut.

Kontra

Selain kelebihan-kelebihan di atas, headless CMS juga memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut :

  • Tidak Untuk Semua Orang
    Sebagian besar orang yang menggunakan CMS tradisional seperti WordPress tidak memiliki pengetahuan tentang pemrograman. Sementara headless CMS ini menuntut seseorang untuk memiliki pengetahuan tentang pemrograman web. Hal ini membuat para blogger dan pemasar digital enggan menggunakan headless CMS.
  • Memiliki 2 Stack Yang Terpisah
    Selain jadi kelebihan yang sudah terlebih dahulu dibahas, memiliki 2 stack terpisah antara front-end dan back-end juga bisa menjadi kekurangan bagi headless CMS. Bayangkan berapa besar effort maupun waktu yang kita butuhkan untuk membuat dua stack yang terpisah demi membuat blog pribadi.
  • Tidak Ada Preview
    Para kreator konten selaku pengguna sebuah CMS sering mem-preview konten yang mereka buat agar sesuai dengan yang mereka inginkan. Masalahnya, di dalam headless CMS tidak ada preview terlebih dahulu kecuali kita memisahkan antara fase staging dan production yang mana akan lebih menghabiskan waktu dan effort.

 

***

 

Bagaimana? Sudah mempertimbangkan apakah headless CMS merupakan solusi yang tepat untuk kalian? Jika kalian adalah seorang yang sudah terbiasa membuat website dan sudah cinta mati dengan yang namanya headless CMS, kalian bisa tunggu artikel kami selanjutnya yang akan membandingkan satu per satu platform headless CMS seperti Directus, Strapi, ataupun Butter.

#Comday – Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker

#Comday – Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker

#Comday - Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker 18

#Comday – Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker

Perkembangan teknologi dan bisnis yang mengarah ke Digitalisasi telah membuat Teknologi Informasi berganti peran dari sekedar sebagai Support menjadi Enabler dan bahkan Driver bagi bisnis. Perubahan ini menuntut pembuatan aplikasi yang semakin banyak dalam waktu yang singkat sehingga memunculkan praktek pengembangan aplikasi  secara DevOps (Development & IT Operations) yang terbukti mengurangi beban pengembang dalam menyelesaikan banyaknya project IT.

Untuk mendukung DevOps dan meningkatkan kemampuan skalabilitas di masa yang akan datang, Teknologi Informasi pun terpaksa mengubah arsitekturnya dari Monolitik menjadi Microservices. Microservices sendiri merupakan arsitektur web service yang harus dapat dapat dijalankan di banyak platform, dan Docker lah yang akan membungkus mesin microservices ini agar dapat berjalan diberbagai platform.

 

Comday yang akan datang kita akan membahas apa itu Microservices dan  Docker dan bagaimana cara mengimplementasikan keduanya dalam praktek pengembangan DevOps

 

Ikuti Community Day dengan tema “Mengembangkan Microservices Menggunakan Docker” pada hari Kamis tanggal 11 April 2019. Dalam acara ini akan dibahas apa itu Microservices dan  Docker dan bagaimana cara mengimplementasikan keduanya dalam praktek pengembangan DevOps

 

Klik tombol ‘Registrasi’ di atas untuk pendaftaran!

Registrasi telah ditutup This form does not exist

Biaya

Free (tempat terbatas)

DATE AND TIME

Kamis, 11 April 2019
14.00 WIB – Selesai

LOCATION

Eduparx – Inixindo Jogja
Jalan Kenari No 69 Yogyakarta
View Maps